Selasa, 27 November 2012

Istri di Mata Suami

Hai blog tercinta, aku nemu artikel Pak Jamil yang bagus banget nih. Aku share disini ya ^^

By jamilazzaini ⋅ November 8, 2012

Kata-kata indah itu baru bermakna bila kita menjalankan dan merasakannya. Dulu saya tidak memahami mendalam makna kata, “Jika kamu berpikir bisa, pasti kamu bisa.” Saya paham kata-kata itu setelah punya banyak pengalaman mewujudkan impian-impian hidup yang oleh sebagian orang diyakini tidak mungkin.

Saya dulu juga tidak paham makna kalimat, “Di balik laki-laki yang sukses terdapat wanita yang hebat, yaitu istrinya.” Saya menyadari kata-kata itu setelah saya sering pergi ke berbagai tempat tanpa istri saya. Di dalam kamar hotel sendirian, itu sangat menyiksa, sulit tidur dan selalu terbayang wajah istri. Begitu pula, bila saya grogi dan tidak percaya diri ketika hendak tampil memberikan seminar atau training, telpon atau SMS dari istrilah yang membuat saya tenang.


Bagi orang jawa, istri itu “garwo” sigare nyowo (separuh jiwa). Bagi saya istri itu bukan hanya “garwo” tetapi lebih dari itu, ia ibarat air. Tanpa air kita tak bisa hidup, 70 persen lebih tubuh kita terdiri dari air. Begitu susunan air ditubuh kita rusak, maka rusak pula tubuh kita. Ia sangat penting dalam keberlangsungan hidup kita.

Istri juga partner dan mitra suami. Istri bukan staf apalagi pembantu kita. Sungguh hinalah lelaki yang menikahi wanita karena alasan agar ada yang mencuci atau memasak buat dirinya. Ia ada untuk menyempurnakan hidup kita. Ia ada agar hidup kita semakin “hidup”. Ia ada untuk mendampingi kita ke jalan yang diridhoi-Nya. Ia mitra dalam mendidik, mengarahkan dan mendamping anak-anak agar kelak manjadi generasi yang SuksesMulia, hebat di dunia dan selamat di akhirat.

Istri juga ibarat “pakaian” buat kita. Dialah yang menghangatkan saat kita kedinginan. Dialah manusia yang rela menutupi kotoran-kotoran dan kelemahan dalam hidup kita. Dialah yang “mempercanti” penampilan kita. Tanpa pakaian, kita tak akan berani keluar rumah, tanpa istri kitapun bukan siapa-siapa.

Istri juga pengganti ibu. Usai kita lelah mencari nafkah, usai kita mendapat tepuk tangan dan apresiasi dari banyak orang, sesampainya di rumah kita perlu bermanja. Saat di rumah kita ingin seperti “anak bungsu”, dimanja, tidur di pangkuan, dibelai dan dilayani seperti anak-anak balita. Itu semua hanya bisa dilakukan oleh istri kita.

Istri ada untuk dijaga. Istri ada untuk dimanja. Istri ada, untuk dimuliakan. Istri ada, untuk menjadi mitra mengumpulkan bekal bertemu dengan Sang Maha…

Salam SuksesMulia!

Ingin ngobrol dengan saya? Follow saya di twitter: @jamilazzaini

Kamis, 15 November 2012

Jika Aku Sudah Menjadi Ibu Nanti....


12 November 2012

Hei blogku, aku mau curhat nih. Pagi tadi aku ngeliat kejadian yang bikin aku sedih. Kan aku lagi mau beli nasi uduk untuk bekal makan siangku, terus di deket tempat jualan nasi uduk itu ada anak kecil nangis sambil teriak-teriak gitu. Kira-kira usia anak itu sekitar usia anak TK gitu deh. Anak laki-laki itu lagi sama pengasuhnya. Pengasuhnya ngajak anak itu pulang tapi anak itu nggak mau diajak pulang. Dia ngamuk-ngamuk mau ikut ibunya yang saat itu duduk di atas motor. Ibunya udah siap-siap mau berangkat kerja gitu.

Hal yang membuatku heran itu, kenapa anak itu sebegitu ngamuknya saat ibunya mau pergi ninggalin kerja? Bukannya bermaksud suuzon sih. Tapi, apakah anak itu bersikap kayak gitu karena nggak suka sama pengasuhnya atau dia emang nggak mau ditinggal ibunya pergi bekerja? Terlepas dari itu semua sih sebenernya ada hal penting yang bisa aku simpulkan dari melihat kejadian itu. Ya, kesimpulan pentingnya sebaiknya seorang ibu tak perlu bekerja dengan meninggalkan anaknya di rumah. Meskipun di rumah ada orang tua atau mertua atau pengasuh yang akan mengurus anak itu tapi bagaimanapun juga anak itu lebih membutuhkan ibunya.

Anak-anak itu ingin dekat dengan ibunya setiap hari tapi bukan di malam hari saat sang ibu tersebut juga perlu beristirahat sepulang dari kantor. Aku mengerti apa yang dirasakan anak anak saat ditinggal ibunya bekerja. Sedih juga ya membayangkannya. Aku yang sudah bekerja dan ditinggal beberapa hari keluar kota sama ibu aja kangennya minta ampun deh sampe mau nangis segala. Gimana mereka yang ditinggal hampir setiap hari oleh ibu mereka? :(

Oh iya, aku juga pernah tuh waktu mau berangkat kerja. Seperti biasa, sebelum naik angkutan umum, aku kan dianter ayahku sampai depan komplek tuh. Adikku yang paling kecil yang umurnya masih 2 tahun kurang, dede hirin, pengen ikut ayahku anter aku naik motor. Sampai di depan komplek, aku salim sama ayahku abis itu aku ulurkan tanganku ke de hirin supaya dia salim sama aku. Sebelum naik angkot, dede hirin nangis melihatku pergi ninggalin dia. Aku jadi ikut sedih liat dia nangis.

Aku sudah duduk di angkot pun adikku masih nangis. Aku jadi membayangkan bagaimana jadinya kalau aku bekerja setelah menikah dan punya anak, lalu meninggalkan anakku di rumah untuk bekerja sebagai pegawai kantoran gitu. Sungguh ibu yang tega sekali jika aku seperti itu pada anakku nantinya :(

Saat itu saja posisiku adalah sebagai seorang kakaknya dede hirin. Tapi rasa sedih meninggalkannya bekerja sehingga membuatnya menangis saja sudah membuatku sedih.
Sejak saat itu dan setelah melihat kejadian anak nangis yang tak mau ditinggal ibunya bekerja membuatku punya tekad bahwa aku tak ingin bekerja sebagai pegawai kantoran setelah punya anak nanti. Aku tak mau jauh dari anakku. Tak mau meninggalkan anakku untuk bekerja di luar rumah yang bisa menghabiskan waktu hampir setengah hari.

Aku juga tak mau menyerahkan sepenuhnya kewajibanku sebagai seorang ibu dengan menitipkan anakku pada orang tuaku atau mertuaku sekalipun mereka mau membantu mengurus anakku. Aku juga tak mau menitipkannya seharian pada pengasuhku jika nantinya aku punya pengasuh. Biarlah kewajiban mencari nafkah itu menjadi tugas utama dan tanggung jawab suamiku. Kalaupun aku nantinya punya pengasuh, dia hanya orang yang membantu mengurus anakku saja. Bukan menjadi tanggung jawab utama pengasuhku dalam mengurusnya. Karena seorang ibu’lah yang seharusnya mengurus anak anaknya, mendidiknya, merawatnya dengan kasih sayang seorang ibu pada anaknya.

Jika aku sudah menjadi seorang ibu dan aku ingin bekerja, aku ingin bekerja di rumah saja. Mencari penghasilan melalui usaha berjualan online atau apa saja asalkan tidak membuat tanggung jawabku sebagai seorang ibu rumah tangga berpindah tangan pada orang lain.

Banyak pertanyaan di kepalaku kenapa ada orang tua yang mau menitipkan anaknya pada orang tua / mertua mereka. Apa mereka tak kasihan pada orangtua mereka? Orang tua yang sudah membesarkan mereka harus mengurus cucunya karena sang ibu bekerja. Tak terpikirkankah oleh para orangtua itu, bahwa kakek/nenek mereka sudah seharusnya dilayani mereka bukan melayani cucu mereka. Mereka sudah seharusnya tak lagi bertugas mengurus anak orang sekalipun itu adalah cucu mereka sendiri. Ah, sungguh tak tega membayangkannya.

Mudah mudahan apa yang aku tulis disini bukan hanya sekedar wacana tapi juga bisa kupraktekkan di kehidupan rumah tanggaku nantinya. Semoga Allah memudahkan hamba hamba Nya yang ingin meraih surga Nya dengan bertanggung jawab penuh atas kewajiban nantinya sebagai seorang istri dan ibu sholeha. Aamiinnn :)